MAKALAH HUBUNGAN ILMU, FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Dengan berkembangnya masyarakat, maka terasa dalam hidup itu perlu adanya alat-alat yang dapat menolong manusia. Dengan demikian timbullah hasrat untuk menyelidiki alam sekitar. Diusahakan agar hasil penyelidikan itu dapat dipergunakan untuk keperluan hidup. Sejak itu timbullah ilmu-ilmu baru sebagai cabang dari ilmu pengetahuan yang pertama tadi. Mula-mula cabang-cabang ilmu pengetahuan yang baru timbul itu masih berhubungan erat dengan induk ilmu tadi. Akan tetapi lambat laun ilmu baru itu melepaskan diri daripadanya. Timbullah tiga cabang ilmu pengetahuan baru yaitu: dari filsafat alam timbullah ilmu pengetahuan alam atau natural science, dari filsafat moral timbullah ilmu pengetahuan sosial atau social science dan ilmu pengetahuan kerohanian atau disebut juga humanitarian science.

Natural science timbul lebih dahulu dari kedua cabang ilmu yang disebut terakhir. Adapun sebabnya berhubungan erat dengan obyek ilmu ini sendiri. Obyek daripada ilmu ini adalah kenyataan yang dapat diketahui dengan pancaindera. Obyek kedua ilmu lainnya tidak mudah diketahui oleh panca indera. Natural science ini meliputi ilmu-ilmu sebagai berikut: ilmu alam, ilmu pasti, ilmu kimia, geologi, anatomi, fisiologi dan embriologi.


1.2.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sumber ilmu pengetahuan ?
2.      Apa hubungan ilmu dan filsafat ?




1.3. Metodologi Penyusunan Makalah
Metodologi atau langkah yang kami lakukan dalam penyelesaian makalah Filsafat Ilmu ini adalah mencari referensi di buku – buku dan informasi dari berbagai situs internet.


1.4. Tujuan Penulisan Makalah
Tiada pengharapan yang lebih dari kami selaku tim penyusun dalam tujuan penulisan makalah ini, tetapi setidaknya kami memiliki tujuan untuk memahami dan menjelaskan hubungan antara ilmu, filsafat dan filsafat ilmu


BAB II
Pembahasan

2.1. Pengertian Ilmu Pengetahuan
Kata pengetahuan diambil dari bahasa inggris “Knowledge” yang berarti pengetahuan, sedangkan pengetahuan manusia yang begitu maju mengenai hal-hal yang nyata (empirik) disebut ilmu, sehingga ilmu pengetahuan dapat didefinisikan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang hal-hal yang nyata.
Ilmu merupakan pengetahuan yang terorganusur yang diperoleh melalui proses keilmuan. Sedangkan proses keilmuan adalah cara memperoleh pengetahuan secara sistematik tentang suatu sistem. Perolehan sistematis ini biasanya dengan metode Ilmiah dan dari metode ilmiah inilah lahir yang kita sebut dengan ilmu pengetahuan.

2.2. Sumber Ilmu Pengetahuan
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang diketahui manusia, di samping seni dan agama. Pengetahuan merupakan sumber jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Maka perlu diketahui terhadap pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu harus diajukan. Jika orang bertanya : “Apakah yang akan terjadi setelah manusia meninggal?”, maka pertanyaan itu tidak dapat diajukan kepada ilmu, melainkan kepada agama. Sebab, secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia. Sedang agama memasuki pula wilayah penjelajahan yang bersifat transendental yang berada di luar pengalaman manusia. Sehingga setiap jenis pengetahuan memiliki ciri-ciri yang spesifik tentang “apa, bagaimana dan untuk apa” (ontologi, epistemologi dan aksiologi), ketiga hal ini saling berkaitan.
Pengetahuan ilmiah atau ilmu sebagai alat bagi manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Pemecahan itu pada dasarnya adalah meramalkan dan mengontrol gejala alam. Di sini timbul persoalan bagi setiap epistemologi pengetahuan, yakni bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologis dan aksiologisnya. Dan juga mampu meramalkan serta mengontrol sesuatu, maka harus mengetahui “mengapa” sesuatu itu terjadi. Di sini harus menguasai pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu. Maka penelaahan ilmiah diarahkan untuk mendapatkan penjelasan tentang berbagai fenomena alam. Penjelasan ini diarahkan terhadap deskripsi tentang hubungan berbagai faktor yang terkait dalam konstelasi yang menyebabkan timbulnya sebuah fenomena dan proses terjadinya fenomena itu. Seperti, mengapa secangkir kopi diberi gula menjadi manis rasanya, bukan mendeskripsikan betapa manisnya secangkir kopi yang diberi gula itu. Ilmu mencoba mengembangkan dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional. Sedang seni mencoba mendeskripsikan sebuah fenomena dengan sepenuh maknanya dan menjadi bermakna bagi pencipta dan yang meresapinya.
Upaya untuk menjelaskan fenomena alam telah dilakukan sejak dahulu kala dengan memperhatikan berbagai kekuatan alam, seperti hujan, banjir, gempa dan sebagainya. Mereka merasa tak berdaya dalam menghadapi yang dianggapnya merupakan kekuatan luar biasa. Kemudian mereka coba dengan mengaitkan dengan makhluk luar biasa pula, dan berkembanglah berbagai mitos tentang para dewa dengan berbagai kesaktian dan perangainya, sehingga muncul dewa-dewa pemarah, pendendam, cinta dan sebagainya. Mereka mengontrol alam sesuai dengan pengetahuannya dengan memberikan berbagai macam sesaji. Perkembangan selanjutnya, mereka mencoba menafsirkan fenomena fisik dengan pengembangan penafsiran tertentu, kemudian mempunyai pegangan tertentu, betapa pun primitifnya. Bukan saja mengerti mengapa sesuatu terjadi, tetapi yang lebih penting adalah agar sesuatu itu tidak terjadi.
Tahap berikutnya, mereka mencoba menafsirkan dunia ini terlepas dari mitos dengan mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis, seperti membuat tanggul. Maka berkembanglah pengetahuan yang berpangkal pada pengalaman berdasarkan akal sehat dengan metode trial and error, yang kemudian menimbulkan pengetahuan yang disebut “applied arts” yang mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan sehari-hari, di samping “fine arts” untuk memperkaya spiritual. Yang terakhir ini lebih berkembang di Timur, karena filsafatnya yang penting adalah berpikir etis yang menghasilkan wisdom.
Betapa pun primitifnya suatu peradaban, masih saja memiliki kumpulan pengetahuan akal sehat, yang sangat penting untuk menemukan berbagai fenomena alam. Maka tumbuhlah rasionalisme yang kritis mempermasalahkan pikiran yang bersifat mitos yang mencoba menemukan kebenaran secara analisis kritis, yang kemudian menimbulkan berbagai pendapat dan aliran filsafat. Rasionalisme dengan sistem pemikiran deduktifnya sering menghasilkan implikasi yang benar dari akurasi logikanya. Tetapi, dapat juga tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan realitas empiriknya. Seperti, Aristoteles menyimpulkan bahwa gigi wanita lebih sedikit dari pria, Bertrand Russell bergumam orang seperti dia yang kawin dua kali seharusnya lebih tahu tentang itu.
Reaksi atas kelemahan rasionalisme itu menimbulkan empirisme yang meyakini bahwa pengetahuan yang benar jika dihasilkan dari sentuhan indrawi, maka berkembanglah cara berpikir yang menjauhi spekulasi teoritis dan metafisis. Bagi David Hume (1711-1776), metafisika adalah hayal dan dibuat-buat bagaikan lidah api yang menjilat. Meskipun empirisme berdasarkan sentuhan indrawi menggunakan sistem berpikir induktif, ternyata tidak lepas dari kelemahan. Yakni, atas dasar apa dapat menghubungkan berbagai fenomena/fakta dalam hubungan kausalitas. Bagaimana hubungan fakta rambut keriting berkorelasi dengan rendahnya intelektual seseorang sebagai hubungan kausalitas.
Untuk mendamaikan dua sistem pemikiran tersebut, maka berkembanglah metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis dari rasional dengan pembuktian secara empiris. Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai puncaknya antara abad IX dan XII M. Eksperimen ini dimulai oleh ahli-ahli kimia yang mungkin semula terdorong oleh tujuan untuk mendapatkan “obat awet muda” dan “rumus membuat emas dari logam biasa” yang lambat laun menjadi paradigma ilmiah. Metode eksperimen ini diperkenalkan di Barat oleh Roger Bacon (1214-1294) kemudian dimantapkan sebagai paradigma ilmiah oleh Francis Bacon (1561-1626). Tegasnya, secara konseptual metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana Muslim dan secara sosiologis dimasyarakatkan oleh Francis Bacon, sekali pun Francis Bacon tidak pernah menyebut pendahulunya. Briffault, dalam bukunya The Making of Humanity yang dinukil oleh M. Iqbal mengakui bahwa bangsa Arab merupakan perintis metode ilmiah. Roger Bacon maupun sesamanya (Francis Bacon) tidak berhak sebagai orang-orang yang telah memperkenalkan metode eksperimental. Roger Bacon tidak lebih daripada seorang rasul ilmu pengetahuan dan metode Muslim ke Eropa Kristiani. Menjelang zaman Bacon, metode eksperimental bangsa Arab tersebut telah tersebar luas dan ditekuni di seluruh benua Eropa . Meskipun demikian, metode eksperimen masih saja merupakan fenomena empiris. Di samping rasionalisme dan empirisme, terdapat cara lain untuk menghasilkan pengetahuan, yakni intuisi dan wahyu.
Intuisi merupakan pengetahuan yang dihasilkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang memikirkan sesuatu masalah secara tiba-tiba menemukan jawabannya dan diyakini atas kebenarannya, namun tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya dapat sampai ke sana. Karena intuisi sangat personal dan tidak bisa diramalkan, maka ia tidak bisa diandalkan untuk menyusun ilmu pengetahuan yang teratur. Ia hanya dapat digunakan sebagai hipotesis bagi analisis berikutnya untuk menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Aktifitas intuitif dan analitik dapat bekerja saling membantu untuk menemukan kebenaran.
Sedang wahyu, merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini didasarkan atas hal-hal yang supernatural (ghaib) dan merupakan pangkal dalam agama. Sehingga suatu pernyataan harus diyakini terlebih dahulu, bisa saja kemudian dikaji dengan metode lain. Secara rasional, umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang dikandungnya bersifat konsisten atau tidak. Sebaliknya, secara empiris dapat dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan itu atau tidak. Tegasnya, agama dimulai dengan rasa percaya, setelah dikaji kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun. Sebaliknya, pengetahuan lain seperti ilmu, bertolak dari rasa tidak percaya (ragu) setelah dikaji secara ilmiah bisa menjadi yakin atau tetap seperti semula.

2.2. Pengertian Ilmu
Pengertian ilmu     yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu (Admojo, 1998). Mulyadhi Kartanegara mengatakan ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad ke-19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang non fisik, seperti metafisika.   
Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli seperti yang dikutip oleh Bakhtiar tahun 2005 diantaranya  adalah :
  Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
  Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya serentak.
   Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
   Ashley Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
  Harsojo menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia. Lebih lanjut ilmu didefinisikan sebagai suatu cara menganalisis yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk : “ jika .... maka “.
    Afanasyef, menyatakan ilmu adalah manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, katagori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.
Berdasarkan definisi di atas terlihat jelas ada hal prinsip yang berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense,  tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu.  Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka (Supriyanto, 2003).
Pembuktian kebenaran pengetahuan berdasarkan penalaran akal atau rasional atau menggunakan logika deduktif. Premis dan proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir rasionalisme. Kelemahan logika deduktif ini sering pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai dengan fakta.  
Secara lebih jelas ilmu seperti sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan tempat lainnya yang belum tersusun dengan baik.

2.3. Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia dan philoshophos. Menurut bentuk kata, philosophia diambil dari kata philos dan shopia atau philos dan sophos. Philos berarti cinta dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Dalam pengertian ini seseorang dapat disebut telah berfilsafat apabila seluruh ucapannya dan perilakunya mengandung makna dan ciri sebagai orang yang cinta terhadap kebijaksanaan, terhadap pengetahuan dan terhadap hikmah.
Pada awalnya, kata sofia lebih sering diartikan sebagai kemahiran dan kecakapan dalam suatu pekerjaan, seperti perdagangan dan pelayaran. Dalam perkembangan selanjutnya, makna dari kata kemahiran ini lebih dikhususkan lagi untuk kecakapan di bidang sya’ir dan musik. Makna ini kemudian berkembang lagi kepada jenis pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia untuk mengetahui kebenaran murni. Sofia dalam arti yang terakhir ini, kemudian dirumuskan oleh Pythagoras bahwa hanya Dzat Maha Tinggi (Allah) yang mampu melakukannya. Oleh karena itu, manusia hanya dapat sampai pada sifat “pencipta kebijaksanaan”. Pythagoras menyatakan: “cukup seorang menjadi mulia ketika ia menginginkan hikmah dan berusaha untuk mencapainya.”
Harun Hadiwijono berpendapat bahwa filsafat diambil dari bahasa Yunani, filosofia. Struktur katanya berasal dari kata filosofien yang berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam arti itu, menurut Hadiwijono filsafat mengandung arti sejumlah gagasan yang penuh kebijaksanaan. Artinya, seseorang dapat disebut berfilsafat ketika ia aktif memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih berarti sebagai “Himbauan kepada kebijaksanaan”.
Harun Nasution beranggapan bahwa kata filsafat bukan berasal dari struktur kata Philos dan shopia, philos dan shophos atau filosofen. Tetapi kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yang struktur katanya berasal dari kata philien dalam arti cinta dan shofos dalam arti wisdom. Orang Arab menurut Harun memindahkan kata Philosophia ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikan tabi’at susunan kata-kata bahasa Arab, yaitu filsafat dengan pola (wajan) fa’lala, fa’lalah, dan fi’la. Berdasarkan wajan itu, maka penyebutan kata filsafat dalam bentuk kata benda seharusnya disebut falsafat atau Filsaf.
Harun lebih lanjut menyatakan bahwa kata filsafat yang banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia, sebenarnya bukan murni berasal dari bahasa Arab sama seperti tidak murninya kata filsafat terambil dari bahasa Barat, philosophy. Harun justru membuat kompromi bahwa filsafat terambil dari dua bahasa, yaitu Fil diambil dari bahasa Inggris dan Safah dari bahasa Arab. Sehingga kata filsafat, adalah gabungan antara bahasa Inggris dan Arab. Berfilsafat artinya berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalannya. Atas dasar itu, maka menurut Harun, secara etimologi filsafat dapat didefinisikan sebagai:
1.Pengetahuan tentang hikmah
2.Pengetahuan tentang prinsip atau dasar
3.mencari kebenaran
4.Membahas dasar dari apa yang dibahas
Ali Mudhafir berpendapat bahwa kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata Falsafah (Arab), Phyloshophy (Inggris), Philosophie (Jerman, Belanda dan Perancis). Semua kata itu, berasal dari bahasa Yunani Philosphia. Kata philosophia sendiri terdiri dari dua suku kata, yaitu Philien, Philos dan shopia. Philien berarti mencintai, philos berarti teman dan sophos berarti bijaksana, shopia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, menurut Ali Mudhafir ada dua arti secara etimologi dari kata filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philien dan shopos, maka ia berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (ia menjadi sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan shopia, maka ia berarti teman kebijaksanaan (filsafat menjadi kata benda)



2.4. Hubungan Antara Ilmu dan Filsafat
Berbagai pengertian tentang filsafat dan ilmu sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka berikutnya akan tergambar pula. Pola relasi (hubungan) antara ilmu dan filsafat. Pola relasi ini dapat berbentuk persamaan antara ilmu dan filsafat, dapat juga perbedaan di antara keduanya.
Di zaman Plato, bahkan sampai masa al Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada. Seorang filosof pasti menguasi semua ilmu. Tetapi perkembangan daya pikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praksis, berujung pada loncatan ilmu dibandingkan dengan loncatan filsafat. Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi dalam perkembangan berikut, perkembangan ilmu pengetahuan yang didukung dengan kecanggihan teknologi, telah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat bahkan seolah lebih sempit dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian muncul suatu anggapan bahwa untuk saat ini, filsafat tidak lagi dibutuhkan bahkan kurang relevan dikembangkan oleh manusia. Sebab manusia hari ini mementingkan ilmu yang sifatnya praktis dibandingkan dengan filsafat yang terkadang sulit “dibumikan”. Tetapi masalahnya betulkah demikian?
Ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis. Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni bagaimana ia mempelajari gejala-gejala sosial lewat observasi dan eksperimen. Keinginan-keinginan melakukan observasi dan eksperimen sendiri dapat didorong oleh keinginannya untuk membuktikan hasil pemikiran filsafat yang cenderung Spekulatif ke dalam bentuk ilmu yang praktis. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan sistem pengetahuan manusia yang telah dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian dibukukan secara sistematis dalam bentuk ilmu yang terteoritisasi. Kebenaran ilmu dibatasi hanya pada sepanjang pengalaman dan sepanjang pemikiran, sedangkan filsafat menghendaki pengetahuan yang koprehensif, yakni; yang luas, yang umum dan yang universal (menyeluruh) dan itu tidak dapat diperoleh dalam ilmu.
Lalu jika demikian, dimana saat ini filsafat harus ditempatkan? Menurut Am. Saefudin, filsafat dapat ditempatkan pada posisi maksimal pemikiran manusia yang tidak mungkin pada taraf tertentu dijangkau oleh ilmu. Menafikan kehadiran filsafat, sama artinya dengan melakukan penolakan terhadap kebutuhan riil dari realitas kehidupan manusia yang memiliki sifat untuk terus maju.
Ilmu dapat dibedakan dengan filsafat. Ilmu bersifat pasteriori. Kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya. Sedangkan filsafat bersifat priori, yakni; kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data emfiris seperti dimiliki ilmu. Karena filsafat bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga dimiliki ilmu. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi hanya dapat dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian, tidak setiap filosof dapat disebut sebagai ilmu, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut filosof. Meski demikian aktifitas berpikir. Tetapi aktivitas dan ilmuwan itu sama, yakni menggunakan aktifitas berpikir filosof. Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka hasil kerja filosofis dapat dilanjutkan oleh cara kerja berfikir ilmuwan. Hasil kerja filosofis bahkan dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu. Namun demikian, harus juga diakui bahwa tujuan akhir dari ilmuwan yang bertugas mencari pengetahuan, sebagaimana hasil analisa Spencer, dapat dilanjutkan oleh cara kerja berpikir filosofis.
Di samping sejumlah perbedaan tadi, antara ilmu dan filsafat serta cara kerja ilmuwan dan filosofis, memang mengandung sejumlah persamaan, yakni sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan, sedangkan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta. Sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya.
Berbagai gambaran di atas memperlihatkan bahwa filsafat di satu sisi dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu pengetahuan, namun di sisi yang lainnya ia juga dapat berfungsi sebagai cara kerja akhir ilmuwan. “Sombongnya”, filsafat yang sering disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) dapat menjadi pembuka dan sekaligus ilmu pamungkas keilmuan yang tidak dapat diselesaikan oleh ilmu. Kenapa demikian? Sebab filsafat dapat merangsang lahirnya sejumlah keinginan dari temuan filosofis melalui berbagai observasi dan eksperimen yang melahirkan berbagai pencabangan ilmu. Realitas juga menunjukan bahwa hampir tidak ada satu cabang ilmu yang lepas dari filsafat atau serendahnya tidak terkait dengan persoalan filsafat. Bahkan untuk kepentingan perkembangan ilmu itu sendiri, lahir suatu disiplin filsafat untuk mengkaji ilmu pengetahuan, pada apa yang disebut sebagai filsafat pengetahuan, yang kemudian berkembang lagi yang melahirkan salah satu cabang yang disebut sebagai filsafat ilmu.



BAB III
Kesimpulan dan Saran

Dengan demikian dapat menyimpulkan bahwa antara ilmu dan filsafat ada persamaan dan perbedaannya, yaitu :
Perbedaannya ilmu bersifat Posterior kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang sedangkan filsafat bersifat priori kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian, sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data empiris seperti yang dimiliki ilmu karena filsafat bersifat spekulatif.
Di samping adanya perbedaan antara ilmu dengan filsafat ada sejumlah persamaan yaitu sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan aktivitas ilmu digerakan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta, sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya
Selanjutnya kritik dan saran kami harapkan dari semua pihak demi perbaikan penulisan selanjutnya.



Daftar Pustaka

http://filsafat-ilmu.blogspot.com
http://www.wikipedia.com
Lihat  Jujun S. Sumantri, hal. 22
Franz Magnis-Suseno, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta.
Jan Hendrik Rapar, 1996, Pengantar Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Sudarsono, 1993, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta
http://taufikmulyana.blogspot.com
http://takberhentiberharap.wordpress.com
http://salwintt.wordpress.com

http://id.shvoong.com
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar