BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
ilmu-ilmu
yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur
keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan
asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain
bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini
dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari
semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok
bahasan dalam filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan
bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir
manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan
sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia
bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia.
Namun,
epistemologi (teori pengetahuan) mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia,
termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan
dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam
beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika
merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar,
diletakkan setelah epistemologi.
Hingga tiga abad
sebelum abad ini, epistemologi bukanlah suatu ilmu yang dikategorikan sebagai
disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, pada dua abad sebelumnya, khususnya di
barat, epistemologi diposisikan sebagai salah satu disiplin ilmu. Dalam
filsafat Islam permasalahan epistemologi tidak dibahas secara tersendiri, akan
tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam
pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang
jiwa, kenon-materian jiwa, dan makrifat jiwa. Pengindraan, persepsi, dan ilmu
merupakan bagian pembahasan tentang makrifat jiwa. Begitu pula hal-hal yang
berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang akal,
objek akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolok ukur kebenaran
dan kekeliruan suatu proposisi. Namun belakangan ini, di Islam, epistemologi
menjadi suatu bidang disiplin baru ilmu yang mengkaji sejauh mana pengetahuan
dan makrifat manusia sesuai dengan hakikat, objek luar, dan realitas eksternal.
Latar
belakang hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para pemikir
melihat bahwa panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat
penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang atau senantiasa
melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap objek luar, dengan
demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan
berupaya membangun struktur pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi
lain, para pemikir sendiri berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai
akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi
dalam masalah-masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran Sophisme
yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk eksistensi
eksternal.
Dengan
alasan itu, persoalan epistemologi sangat dipandang serius sedemikian sehingga
filosof Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika sebagai
aturan dalam berpikir dan berargumentasi secara benar yang sampai sekarang ini
masih digunakan. Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas
akal dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat
memunculkan keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance
dan kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahir
yang berpuncak pada Positivisme. Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi
suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650)
dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716) kemudian disempurnakan oleh
John Locke di Inggris.
1.2 Rumusan masalah
·
apa epistemologi ilmu itu ?
·
Bagaimana cara cara mendapatkan
kebenaran Ilmu Pengetahuan ?
·
Bagaimana metode ilmiah itu ?
1.3 Tujuan
· Memahami
dan menjelaskan dimensi epistemologis ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk
membedakan dua cabang filsafat, epistemologi
dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau
pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka
memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga
didapatkan pengertian yang berbeda-beda, bukan saja pada redaksinya, melainkan
juga pada substansi persoalannya.
Substansi
persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep,
meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya,
pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi)
secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep
tersebut. Hal iini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep
selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan
persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami
substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia
baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar,
prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan
belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep
merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahasan selanjutnya yang sedang
dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).
Epistemologi
juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal
dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi
dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau
sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.
Pengertian Epistemologi menurut para
ahli :
ü
Dalam
Epistemologi, pertanyaan
pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah
manusia dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana pengetahuan itu dapat
diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra
pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim
Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
ü
Pengertian
lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai
bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ?
apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana
pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel
Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
ü
Menurut
Musa Asy’arie,
epistemologi adalah cabang
filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses
adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang
terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.
ü
P.Hardono
Hadi menyatakan,
bahwa epistemologi adalah cabang
filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki.
ü
D.W
Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya
sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Inti
pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat
pengetahuan, sedangkan pengertian kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan
berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli
dari pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri
pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini
akhirnya melahirkan dua aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan
idealisme.
ü
Pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia
menyatakan, bahwa epistemologi
adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan
validitas pengetahuan.
ü
Azyumardi
Azra menambahkan,
bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”.
Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relatif lebih
mudah dipahami.
2.2 RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI.
Bertolak dari pengertian epistemologi
tersebut, kiranya kita perlu memerinci aspek-aspek yang menjadi cakupannya atau
ruang lingkupnya. Sebenarnya masing-masing definisi diatas telah memberi
pemahaman tentang ruang lingkup epistemologi sekaligus, karena
definisi-definisi itu tampaknya didasarkan pada rincian aspek-aspek yang
tercakup dalam lingkup epistemologi daripada aspek-aspek lainnya, seperti
proses maupun tujuan. Akan tetapi, ada baiknya dikemukakan
pernyataan-pernyataan lain yang mencoba menguraikan ruang lingkup epistemologi,
sebab pernyataan-pernyataan ini akan membantu pemahaman secara makin
komprehensif dan utuh (holistik) mengenai ruang lingkup pemabahasan
epistemologi.
Rincian ruang
lingkup epitemologi menurut para ahli :
ü
M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi
hakekat, sumber dan validitas pengetahuan.
ü
Mudlor
Achmad merinci menjadi
enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran
pengetahuan.
ü A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup
pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa
sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa
kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita
ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat
menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
Mengingat epistemologi
mencakup aspek yang begitu luas, sampai Gallagher
secara ekstrem menarik kesimpulan, bahwa epistemologi sama luasnya dengan filsafat. Usaha menyelidiki dan
mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengan usaha untuk menentukan apa yang
diketahui dibidang tertentu. Filsafat merupakan refleksi, dan refleksi selalu
bersifat kritis, maka tidak mungkin seserorang memiliki suatu metafisika yang
tidak sekaligus merupakan epistemologi
dari metafisika, atau psikologi yang tidak sekaligus epistemologi dari psikologi, atau bahkan suatu sains yang bukan epistemologi dari sains. Epistemologi senantiasa “mengawali”
dimensi-dimensi lainnya, terutama ketika dimensi-dimensi itu dicoba untuk
digali. Kenyataan ini kembali mempertegas, bahwa antara epistemologi selalu berkaitan dengan ontologi dan aksiologi,
melainkan bisa juga sebaliknya, ontologi dan aksiologi serta dimensi lainnya,
seperti psikologi selalu diiringi oleh epistemologi.
saat ini literatur-literatur
filsafat masih terjadi pemusatan perhatian pada aspek-aspek tertentu saja.
Aspek-aspek itu berkisar pada sumber pengetahuan, dan pembentukan pengetahuan. M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali
kajian epistemologi lebih banyak
terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara
konseptual-filosofis. Sedangkan Paul
Suparno menilai epistemologi
banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah.
Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi,
atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.
Kecenderungan sepihak ini
menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode
pengetahuan, bahkan epistemologi
sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika
dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seserorang cenderung
menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai metode pemikiran, ontologi sebagai objek
pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa
berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif maupun negatif. Padahal
sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi. Bagian-bagian lainnya
jauh lebih banyak, sebagaimana diuraikan di atas.
2.3 KEBENARAN
Kebenaran merupakan satu nilai utama di dalam kehidupan manusia.
Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi
atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu
kebenaran.
Kebenaran
dapat dicari dengan menggunakan seluruh panca indera manusia tentang apa yang
dia pikirkan mengenai hal itu. Itupun harus diselaraskan dengan apa yang
dirasakan oleh hatinya dan sampai dia akhirnya dapat menemukan bahwa akhir dari
semua kebenaran itu adalah selalu kembali kepada Tuhan.
Kebenaran
mutlak sebenarnya adalah kebenaran dalam suatu pendapat. Pada dasarnya
kebenaran mutlak tidak terdapat pada manusia tetapi pada yang memiliki seluruh
hidup manusia. Ada yang mengatakan bawha “Saya inilah satu-satunya kebenaran”.
Mengapa demikian, adalah karena dia menginginkan semua pendapat itu harus
dipatuhi tanpa boleh disangkal lagi. Namun, mengapa kita ini mengatakan masih
mencari kebenaran?Ini karena dalam hati kita ingin membuktikan benarkah
ucapan-ucapan yang demikian patut dibenarkan atau dinobatkan sebagai kebenaran
mutlak. Keinginan kita untuk membuktikan hal-hal di atas inilah yang dapat
dikatakan sebagai mencari kebenaran. Kegunaannya adalah jika kita telah
mempunyai tujuan hidup. Sehingga dalam menjalani kehidupan ini kita menjadi
punya tujuan dan arah yang pasti.
Telah
dibicarakan bahwa pengetahuan berkembang antara lain karena manusia memiliki
rasa ingin tahu (curiousity is beginning of knowledge). Hasrat
ingin tahu manusia terpuaskan bila dirinya memperoleh pengetahuan yang benar
(kebenaran) mengenai apa yang dipertanyakan. Untuk itu manusia menempuh
berbagai cara agar keinginan tersebut terwujud.
2.4
CARA CARA MENDAPATKAN KEBENARAN
Berbagai
tindakan untuk memperoleh pengetahuan secara garis besar dibedakan menjadi dua,
yaitu secara ilmiah dan nonilmiah, Usaha yang dilakukan secara nonilmiah
menghasilkan pengetahuan (knowledge), dan bukan science. Sedangkan
melalui usaha yang bersifat ilmiah menghasilkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.
W. Huitt
(1998), dalam artikelnya yang berjudul “Measurement, Evaluation, and
Research : Ways of Knowing”, menyatakan bahwa ada lima macam cara untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar (kebenaran) yaitu : pengalaman, intuisi,
agama, filsafat, dan ilmu.
Dengan
cara-cara tersebut dapat diperoleh kebenaran pengalaman atau kebenaran indera,
kebenaran intuitif, kebenaran religius, kebenaran filosofis, dan kebenaran
ilmiah.
Bgaimana memulainya dalam mencari
kebenaran adalah kita tentukan dulu hal manakah yang akan kita cari kebenarannya.
Dalam tahap ini kita menghadapi pernyataan “ what” dan “when” (apa dan kapan).
Kemudian jalan pembuktiannya kita lakukan. Dalam pembuktian ini kita masuk
tahap “why” dan “how” (mengapa dan bagaimana). Dan perlu dicatat pula bahwa
kebenaran yang kita temukan sering bersifat subjektif. Apa yang kita nilai
benar, belum tentu dinilai benar oleh orang lain. Demikian pula kebenaran yang
akan kita buktikan belum tentu sama dengan kebenaran yang dicari orang lain.
Karena pencarian kebenaran sampai
pada tahap “why” dan “how” maka merupakan bagian dari filsafat. Oleh karena
itu, dalam mencari kebenaran harus memakai alur pemikiran filsafati seperti
rasio kita (alur thinking), kemudian menggunakan seluruh panca indera yang kita
miliki (alur sensing), menggunakan perasaan (alur feeling) sampai batas mereka
menemukan satu kebenaran dan pembenaran yang hakiki (alur believing). Dan
kesimpulannya memang kebenaran itu sifatnya reltif atau tergantung
masing-masing individu, karena masing-masing individu memiliki cara atau proses
dalam mencari kebenaran yang berbeda.
2.5 TEORI TEORI KEBENARAN MENURUT FILSAFAT
1. Teori Corespondence
menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu
terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau
pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat
tersebut.
2. Teori Consistency
Teori ini merupakan
suatu usah pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen
dianggap relible jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik
bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain
dalam waktu dan tempat yang lain.
3. Teori Pragmatisme
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Pernyataan
bahwa motivasi merupakan faktor yang sangat penting untuk
meningkatkan prestasi belajar anak dapat dianggap benar bila pernyataan
tersebut mempunyai kegunaan praktis, yaitu bahwa prestasi belajar anak dapat
ditingkatkan melalui pengembangan motivasi belajarnya. Teori pragmatisme
dijadikan dasar dalam pengembangan ilmu terapan.
4. Kebenaran Religius
Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan
individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat
manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari
Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
2.6
PENGERTIAN METODE ILMIAH
Menurut Soerjono
Soemargono (1993 : 17), istilah metoda berasal dari bahasa
Latin methodos, yang secara umum artinya cara atau jalan
untuk memperoleh pengetahuan sedangkam metoda ilmiah adalah
cara atau jalan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.
The Liang Gie
(1991 : 110), menyatakan bahwa metoda ilmiah adalah prosedur
yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata
langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau
memper-kembangkan pengetahuan yang telah ada.
Dalam beberapa
literatur seringkali metoda dipersamakan atau dicampuradukkan
dengan pendekatan maupun teknik. Metoda, (methode),
pendekatan (approach), dan teknik (technique) merupakan tiga
hal yang berbeda walaupun bertalian satu sama lain (The LiangGie, 1991 : 116).
Dengan mengutip
pendapat beberapa pakar, The Liang Gie menjelaskan perbedaan
ketiga hal tersebut sebagai berikut. Pendekatan pada
pokoknya adalah ukuran-ukuran untuk memilih masalah-masalah dan
data yang bertalian, sedangkan metoda adalah prosedur untuk
mendapatkan dan mempergunakan data. Pendekatan dalam menelaah
suatu masalah dapat dilakukan berdasarkan atau dengan memakai
sudut tinjauan dari ilmu-ilmu tertentu, misalnya psikologi,
sosiologi, politik, dst. Dengan pendekatan berdasarkan psikologi,
maka masalah tersebut dianalisis dan dipecahkan berdasarkan
konsep-konsep psikologi. Sedangkan bila masalah tersebut
ditinjau berdasarkan pendekatan sosiologis, maka konsepkonsep sosiologi
yang dipakai untuk menganalisis dan memecahkan masalah tersebut.
Pengertian
metoda juga tidak sama dengan teknik. Metoda ilmiah adalah
berbagai prosedur yang mewujudkan pola-pola dan tata langkah
dalam pelaksanaan penelitian ilmiah. Pola dan tata langkah prosedural
tersebut dilaksanakan dengan cara-cara operasional dan teknis
yang lebih rinci. Cara-cara itulah yang mewujudkan teknik. Jadi, teknik
adalah suatu cara operasional teknis yang seringkali bercorak rutin,
mekanis, atau spesialistis untuk memperoleh dan menangani data
dalam penelitian (The Liang Gie (1991 : 117).
2.7.
UNSUR UNSUR METODE ILMIAH
Metoda ilmiah
yang merupakan suatu prosedur sebagaimana digambarkan oleh The
Liang Gie, memuat berbagai unsur atau komponen yang saling
berhubungan. Unsur-unsur utama metoda ilmiah menurut The
Liang Gie (1991 : 118) adalah pola prosedural, tata langkah, teknik, dan
instrument.. Pola prosedural, antara lain terdiri dari :
pengamatan, percobaan, peng-ukuran, survai, deduksi, induksi,
dan analisis. Tata langkah, mencakup : penentuan masalah,
perumusan hipotesis (bila perlu), pengumpulan data,
penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil. Teknik, antara lain
terdiri dari : wawancara, angket, tes, dan perhitungan. Aneka instrumen yang
dipakai dalam metoda ilmiah antara lain : pedoman wawancara,
kuesioner, timbangan, meteran, komputer.
2.8
MACAM MACAM METODE ILMIAH
Johson (2005) dalam arkelnya yang
berjudul ”Educational Research : Quantitative and Qualitative”, yang termuat
dalam situs internet (http://www.south.edu/coe/bset/johnson) membedakan metoda
ilmiah menjadi dua metoda deduktif dan metoda induktif.
1) Metoda Deduktif
Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya
Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik (1996 : 6) menyatakan bahwa
pada dasarnya metoda ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh
pengetahuannya berdasarkan :
a) kerangka pemikiran yang bersifat logis
dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya
yang telah berhasil disusun
b) menjabarkan hipotesis yang merupakan
deduksi dari kerangka pemikiran tersebut; dan
c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk
menguji kebenaran pernyataannya secara faktual.
Selanjutnya Jujun menyatakan bahwa
kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikatif
ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut (2005 : 127-
128).
a) Perumusan masalah, yang merupakan
pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat
diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b) Penyusunan kerangka berpikir
dalam penyusunan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan
yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk
konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional
berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan
faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
c)
Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan
terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari dari
kerangka berpikir yang dikembangkan.
d) Pengujian hipotesis yang
merupakan pengumpulan fakta fakta yang relevan dengan hipotesis, yang diajukan
untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipoteisis
tersebut atau tidak.
e) Penarikan kesimpulan yang
merupakan penilaian apakah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima.
2)
Metoda Induktif
Metoda
induktif merupakan metoda ilmiah yang diterapkan dalam penelitian kualitatif.
Metoda ini memiliki dua macam tahapan : tahapan penelitian secara umum dan
secara siklikal (Moleong, 2005 : 126).
a) Tahapan penelitian secara umum
Tahapan enelitian secara umum secara garis besar terdiri
dari tiga tahap utama, yaitu (1) tahap
pralapangan, (2) tahap pekerjaan lapangan, dan (3) tahap analisis data.
b) Tahapan penelitian secara
siklikal
Menurut Spradley
(Moleong, 2005 : 148), tahap penelitian kualitatif, khususnya dalam etnografi
merupakan proses yang berbentuk lingkaran yang lebih dikenal dengan proses
penelitian siklikal, yang terdiri dari langkah-langkah : (1) pengamatan
deskriptif, (2) analisis demein, (3) pengamatan terfokus, (4) analisis taksonomi,
(5) pengamatan terpilih, (6) analisis komponen, dan (7) analisis tema
BAB III
KESIMPULAN
ilmu-ilmu
yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur
keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan
asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain
bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini
dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar.
epistemologi
(teori pengetahuan) mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk
ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan
pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian
memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu
tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar, diletakkan setelah
epistemologi.
persoalan
epistemologi sangat dipandang serius sedemikian sehingga filosof Yunani,
Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan dalam
berpikir dan berargumentasi secara benar yang sampai sekarang ini masih
digunakan. Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas akal
dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan
keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance
dan kemajuan ilmu empirik
DAFTAR PUSTAKA
1.
Drs. Kuntjojo M.Pd (2009). “Filsafat
Ilmu”,.Program Studi
Pendidikan Bimbingan Dan Konseling Universitas Nusantara Pgri Kediri
2.
Agus Kamaludin (2008). ” MAKNA,
KEBENARAN, DAN CARA MEMPEROLEH KEBENARAN”. Jurusan Pendidikan Sains Program
Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta
3.
http://dc112.4shared.com/doc/lD2XZxA7/preview.html
4.
zulkarnaenfajar.blogspot.com/2011/10/25/epistemologi-ilmu-pengetahuan.html
5.
amiere.multiply.com/journal/item/19/Metode_Ilmiah
6.
tulisendw.blogspot.com/2010/02/epistemologi.html
0 komentar :
Posting Komentar